Home / Unik Bali

Minggu, 15 Januari 2023 - 10:56 WIB

Uncal Balung Pantang “Nangun Karya”

ISTILAH Uncal Balung tak asing lagi. Kata ini sering terdengar dalam masyarakat Hindu Bali. Cuma, bagi masyarakat awam mungkin mereka bertanya, apa itu Uncal Balung?

Secara sederhana, bahwa kurun waktu dari Buda Pon Sungsang sampai dengan Buda Kliwon Pahang, masa itu yang disebut dengan uncal balung. Masyarakat kebanyakan hanya tahu bahwa pada kurun waktu tersebut tak boleh megaenan (nangun karya). Artinya, pada masa uncal balung tak boleh merencanakan atau membangun dan melaksanakan upacara, baik itu manusa yadnya, pitra yadnya maupun dewa yadnya, kecuali upacara odalan dan terkait dengan kelahiran manusia seperti nyambutin, ngotonin, dan lainnya.

Masyarakat Bali juga memahami bahwa kalau nangun karya atau nangun yadnya pastilah menunggu sampai Buda Kliwon Pegatwakan (Buda Kliwon Pahang). Namun, masyarakat tak pernah tahu kenapa tak boleh nangun yadnya? Masyarakat hanya mengikuti saja petunjuk dari orang tua atau orang yang mengerti akan hal tersebut, tanpa pernah repot untuk mencari jawabannya.

Mereka berpikir kalau sudah tak boleh, ya jangan. Alasan sesungguhnya ini adalah masyarakat Bali masih memegang teguh etika dan susila, karena orang awam berpikir bahwa adanya larangan merupakan “kode etik” dari sesana yang masih dipegang melalui ajaran gugon tuwon dari para leluhurnya.

Mulai Menyimpang

Kembali ke uncal balung, untuk ketentuan uncal balung ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali secara umum. Namun di beberapa daerah sudah mulai ada hal yang sangat kontradiktif dengan banyaknya masyarakat melaksanakan upacara perkawinan, ngaben dan upacara lainnya yang sifatnya “nangun karya” pada saat masa uncal balung. Artinya semua itu sebenarnya sudah menyimpang dari sastra agama.

Masyarakat yang melakukan pelanggaran sastra agama merasa biasa saja karena sudah mendapatkan petunjuk dari sulinggih atau sudah dilakukan secara turun-temurun melakukan upacara yang melanggar ketentuan uncal balung tersebut, tanpa pernah terasa efek sekala dan niskala.

Ada juga sebagian masyarakat yang mencari pembenaran dengan berlindung pada desa kala patra dari masing-masing wilayah. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki dresta tersendiri, sehingga kerapkali dikatakan agama Hindu Bali bertengger pada desa kala patra berlandaskan Weda dan diukur dengan rasa.

Baca Juga :  Libur Galungan, Anak-anak “Ngelawang” Barong Bangkung

Inilah pemikiran “bebelogan” dari orang “wikan” di Bali. Bebelogan artinya bukan bodoh, tetapi sejatinya orang yang pandai, namun dapat menyederhanakan masalah, sehingga tak terlibat dalam polemik, tak terlibat dalam debat kusir, tak terlibat dalam pro-kontra mengenai sebuah konsep. Orang “wikan” ini memberi petunjuk dengan sengaja melanggar sastra agama apakah karena mereka tak tahu sastranya atau memang karena drestanya sudah seperti itu?

Sekarang tergantung dari kesepakatan kita bersama sebagai krama Hindu Bali, apakah akan menggunakan sastra agama sebagai pegangan atau berpijak atau dibiarkan saja?? Ini mesti menjadi bahan renungan dan pemikiran serta bahan diskusi kita bersama.

Kisah Sri Jaya Kesunu

Dalam filosofinya bahwa kurun waktu dari Buda Pon Sungsang sampai dengan Buda Kliwon Pahang adalah masih rangkaian rerahinan Galungan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa Galungan merupakan rerainan dari Sang Prabu, sehingga dalam konteks ‘konstitusi’ harus tunduk terhadap keputusan Sang Prabu.

Pelbagai pura yang ada merupakan sistem yang dimiliki oleh Sang Prabu. Oleh sebab itu, diharapkan pada kurun waktu itu menjalankan tapa brata yoga samadi sampai akhirnya dilebar atau ditutup pada dina Buda Kliwon Pahang yang disebut dengan Buda Kliwon Pegatwakan.

Kalau di tinjau dari cerita bahwa perayaan Galungan tak terlepas dari sejarah Sri Jaya Kesunu yang beryoga samadi di Pura Dalem Puri untuk mencari jawaban atas situasi prihatin kerajaan saat itu, dimana raja berumur pendek, dan rakyat yang tak sejahtera. Oleh sebab itu, Sri Jaya Kesunu menjalankan laku prihatin, sehingga Hyang Betari Durga berkenan dan memberikan jawaban atas segala keprihatinan tersebut, dimana rakyat dan kerajaan mesti melaksanakan Galungan dengan benar, karena sebelumnya perayaan Galungan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pertanyaan sekarang, sudahkan galungan dijalankan sesuai petunjuk sastra agama?

Mitologi Mayadenawa

Demikian juga dengan mitologi Mayadenawa bahwa Galungan diawali dengan keprihatinan akibat dari perilaku dari Sang Raja Mayadenawa yang menganggap dirinya adalah sesuhunan manusia atau menganggap diri sebagai penguasa manusia dan makhluk hidup, sehingga dia melarang para pertapa untuk melakukan tapa brata yoga samadi.

Baca Juga :  Ngaben Massal di Banjar Kaliakah, per “Sawa” Kena Biayar Rp 2,5 Juta

Atas semua itu, lalu Bhetara Indra turun dari Kayangan bersama para dewa yang lain dan manusia di dunia bersatu untuk menumpas kelaliman dari Sang Mayadenawa. Atas kemenangan tersebut, manusia kembali dapat menyelenggarakan upacara, dan kembali melakukan tapa brata yoga samadi tanpa ada yang melarang.

Uncal balung sebagai bulan pendalaman batin (rohani) untuk mencapai kesucian jasmani rohani mesti perlu dipahami oleh umat. Lalu ditradisikan sebagai tradisi pendalaman spiritual, agar terhindar dari pengaruh negatif dari Sang Kala Tiga. Dan, untuk mendapatkan kekuatan para dewa karena pada masa uncal balung kekuatan rwa bhineda sedang berada di antara manusia yakni kekuatan Dewata sebagai unsur positif dan kekuatan Kala yang berwujud Sang Kala Tiga Galungan sebagai unsur negatif.

Pengendalian Diri Lahir-Batin

Untuk jelasnya dapat diperhatikan beberapa kutipan Lontar Sundarigama lembar 17. b. koleksi Universitas Hindu Indonesia:

…. ”Buda Kliwon Pegatwakan, yatika pegating warah, manelasing dyana semadhining dunggulan, nga, wekasing pralina ngranasika, pakena Wiku lamakna sindyanasemadhi, umaring kala naya nguni, saha widhi widhananya sarwa pawitra, wangi-wangi, aturakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa, saha puja hatur ring Sang Hyang Tungal…..”

Kalau dilihat dari tatwanya adalah pengendalian diri dalam hidup ini untuk mencapai kesucian lahir dan batin, yang lebih sering disebut dengan kemenangan dharma melawan adharma. Etikanya, Sang Prabu melakukan tapa brata yoga semadi yang diiringi oleh para pendetanya serta masyarakat yang sudah masuk ke jenjang spiritual. Semua umat Hindu Bali harus melakukan usaha pengendalian diri selama masa uncal balung serta upacaranya. Semua kegiatan upacara pada masa Uncal Balung mempunyai keterkaitan upacara satu dengan lainnya mulai dari Sugihan sampai Buda Kliwon Pegatwakan. (tim/dbc)

Share :

Baca Juga

Komunitas

Tangkal Joged Jaruh, Paiketan Seniman Tabanan Komit Jaga Etika Tari Joged Bumbung

Komunitas

Libur Galungan, Anak-anak “Ngelawang” Barong Bangkung

Ekbis

Lomba Kerajinan Cenderamata PKB, Juri Sayangkan Minim Peserta

Peristiwa

Tumpek Kandang Diisi Kegiatan Vaksinasi Rabies dan Sterilisasi Hewan

Dari Desa

Desa Adat Padangbulia Gelar Tradisi Meamuk-amukan Saat Malam Pengrupukan

Unik Bali

12 Ogoh-ogoh Terbaik Pawai di Kawasan Catur Muka

Unik Bali

Pawintenan Bersama Diikuti 225 Peserta, Yayasan PSCB: Tidak Ada Unsur “Desti”

Edukasi

ISI Denpasar Ciptakan Film Musik “Kawyagita Mandala”