DENPASAR – Sebuah karya seni prasi sepanjang 4 meter berhasil dibuat oleh komunitas Oprasi. Prasi ‘komik khas Bali’ itu merupakan seni membuat gambar di atas daun lontar. Prasi sepanjang 4 meter tersebut diklaim sebagai prasi terpanjang di Bali.
Karya tersebut dirampungkan oleh 17 orang pegiat prasi selama dua minggu. “Pembuatan prasi ini tak hanya dilakukan oleh seniman prasi dari Bali, tapi juga seniman China, Manado, dan pecinta prasi asal Flores,” ujar Koordinator Oprasi, Wayan Trisnayana (26 tahun) pada Minggu, 4 September 2022.
Hal itu disampaikannya dalam kegiatan Pelatihan Visualisasi Karya Fiksi Melalui Naskah Lontar yang digelar Penggak Men Mersi Kesiman bersama Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha).
Dalam pelatihan itu, Trisnayana terlibat sebagai pelatih membuat prasi. Trisnayana menuturkan, prasi yang dibuatnya tersebut berkisah tentang Cen Fu Zen Ren yang dianggap sebagai arsitek Taman Ayun.
Dia menceritakan, komunitas Oprasi berdiri tahun 2018 lalu dan sudah melakukan beberapa pameran prasi. Tak hanya berpameran di Bali, pihaknya namun juga sempat pameran di San Fransisco, Amerika Serikat.
“Membuat prasi ini adalah sebuah meditasi seni. Saat menggoreskan pangrupak (pisau kecil untuk menulis di daun lontar) semua energi dan konsentrasi berpusat pada tangan,” kata Trisna.
Pembuatannya juga cukup sulit karena harus membuat per lembar yang kemudian disusun sesuai bentuk yang dibuat. Untuk membuat satu lembar prasi, kata Trisna, memakan waktu hingga 2 jam.
Kegiatan pelatihan tersebut menghadirkan puluhan pegiat lontar dan perupa yang berasal dari kawasan Kesiman dan juga alumni Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha.
Ketua Pelaksana Pelatihan, I Wayan Gede Wisnu, mengatakan kegiatan ini merupakan salah satu implementasi pengabdian kepada masyarakat. Ia melihat saat ini seni prasi berkembang di Buleleng dan Karangasem, tetapi di tempat lain belum begitu berkembang.
“Selama ini bahasa Bali lazimnya dituturkan lewat satua atau ditulis. Dan kami melihat akan lebih menarik lagi ditampilkan dalam visualisasi. Kita memiliki komik tradisional bernama prasi yang tidak kalah dengan komik pada umumnya. Beranjak dari sana, kami gelar ini,” tuturnya.
Menurut Wisnu, selama ini generasi yang tertarik pada seni prasi belum begitu banyak. Dia berharap dengan kegiatan ini bisa melahirkan generasi muda yang bergelut dalam seni prasi. “Peluang prasi ini masih terbuka lebar,” katanya.
Kelian Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita, mengatakan masih banyak yang perlu dikembangkan dalam dunia seni prasi, termasuk alih wahana. Seni prasi apabila bisa digarap dengan serius, tak hanya melahirkan nilai estetis saja, tapi juga bisa menjadi buah tangan khas Bali.
Bagi Wahyudita, prasi adalah karya monumental Bali yang khas. “Mungkin dalam seni lukis ada lukisan Kamasan, lukisan gaya Nagasepaha, dan lainnya. Namun ada lagi yang khas, yakni prasi ini,” katanya.
Menurut dia, ke depan seni prasi ini harus bisa dibuatkan satu ekosistem yang berkelanjutan. Sehingga seni ini tak hanya berhenti sebagai sebuah karya seni, tapi bisa melahirkan komoditas baru, semisal kaos bergambar prasi.
“Seni prasi ini juga bisa melatih anak-anak untuk memegang pangrupak, sebagai jembatan bagi pemula untuk merangsang dan mengenal lebih jauh tentang lontar,” kata Wahyudita. (dbc)